Sekitar 20 persen penduduk dunia atau lebih dari 1,5 miliar jiwa kini menghabiskan waktu di rumah sejalan dengan penutupan wilayah dan pembatasan aktivitas warganya yang diberlakukan berbagai negara untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19.
Penutupan wilayah atau lock down yang diambil oleh berbagai negara meniru apa yang sudah dilakukan China terhadap Provinsi Hubei, termasuk Kota Wuhan, episentrum awal Covid-19, serta kota-kota besar lain di provinsi lain di negara itu. Wuhan di-lock down pada 23 Januari 2020.
Akan tetapi, kebijakan penutupan wilayah saja tidaklah cukup. Jika negara hanya mengandalkan penutupan, hal itu sama artinya dengan menunda bencana tiba. Usai kebijakan penutupan dicabut, maka gelombang penyebaran Covid-19 akan kembali muncul.
Baca juga: Covid-19 Tak Cukup Hanya Dilawan dengan "Lockdown"
Penutupan wilayah bukan menjadi pilihan yang diambil oleh Negeri Ginseng, Korea Selatan. Meski demikian, pilihan kebijakan yang diambil Seoul justru bisa menjadi model bagi negara lain yang menghadapi beban kasus Covid-19 yang besar. “Korea Selatan adalah republik demokrasi, kami rasa lockdown bukanlah pilihan yang masuk akal,” ujar Kim Woo-Joo, pakar penyakit infeksi di Korea University, seperti dikutip sciencemag.com, Selasa (17/3/2020).
Sejak akhir Januari, ketika Covid-19 baru ada empat kasus, Korea Selatan telah melakukan persiapan mengantisipasi datangnya wabah Covid-19 yang kian membesar. Saat itu otoritas kesehatan Korea Selatan memanggil puluhan perwakilan industri farmasinya dan meminta mereka mengembangkan alat tes Covid-19.
Akhirnya seminggu setelah diminta membuat alat tes Covid-19, tepatnya pada 4 Februari 2020, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Korea Selatan menyetujui alat diagnosis dari Kogene Biotech Co Ltd. Setelah itu, alat tes buatan perusahaan lain menyusul disetujui.
Baca juga: Inilah Bagaimana Amerika Tertinggal dari Korea Selatan dalam Menangani Covid-19
Dengan produksi alat tes yang tersebut, Korea Selatan pun bisa melakukan penapisan yang masif. Layanan pemeriksaan pun mudah diakses oleh masyarakat, dan jejaring laboratorium yang luas pun sudah siap mendukung.
Tujuh pekan sejak rapat pertama, Korea Selatan telah melakukan tes terhadap 290.000 orang dan berhasil mengidentifikasi lebih dari 8.000 orang. Kasus baru harian pun turun dari 909 kasus pada dua minggu lalu menjadi 93 kasus seperti dilaporkan pada Rabu (18/3/2020).
Bahkan, mereka menggunakan cara-cara kreatif dalam melakukan pemeriksaan, yaitu melalui layanan drive-through. Cara ini dinilai lebih aman dibandingkan jika warga harus antre di fasilitas kesehatan dan berpotensi menularkan pada orang lain.
Baca juga: Bergerak Cepat dan Disiplin, Kunci Keberhasilan Korea Selatan
Salah seorang yang memanfaatkan layanan ini adalah Rachel Kim, perempuan berusia 45 tahun yang merasa tidak enak badan setelah pulang dari Daegu. Di layanan drive-through itu, dua tenaga kesehatan mengenakan alat pelindung diri (APD) menyambut Rachel. Setelah suhu tubuh Kim dicek dan riwayat perjalanannya didata, petugas kesehatan mengambil sampel dari mulut, tenggorokan, dan hidung.
Korsel menggunakan cara-cara kreatif dalam melakukan pemeriksaan, yaitu melalui layanan drive-through. Cara ini dinilai lebih aman dibandingkan jika warga harus antre di fasilitas kesehatan dan berpotensi menularkan pada orang lain.
Sampel itu lalu dikirim ke laboratorium terdekat yang akan memproses sampel dengan teknik reaksi berantai polimerase (PCR) di ruangan bertekanan negatif. Hasilnya akan diketahui tiga hari kemudian. Rachel akan ditelepon jika positif atau dikirimi pesan singkat jika negatif.
Pemeriksaan tujuh menit
Selain layanan pemeriksaan drive-through, ada juga layanan pemeriksaan melalui bilik telepon umum. Di dalam kotak kaca itu warga dilayani oleh tenaga kesehatan yang menggunakan APD lengkap. Pasien dan tenaga kesehatan dibatasi oleh sekat dinding kaca. Proses pemeriksaan awal hingga mengambil sampel melalui celah khusus di sekat kaca itu hanya memerlukan waktu lebih kurang tujuh menit.
Korea Selatan telah menjalankan pemeriksaan terhadap 5.000 dari satu juta penduduknya. Ini menjadi angka tertinggi di seluruh dunia. Dengan pemeriksaan masif ini, mereka akhirnya bisa menjangkau penduduk yang jadi pembawa (carrier) virus, yakni mereka yang positif, tetapi tidak bergejala dan bisa menularkan pada orang lain.
Para pembawa ini umumnya adalah orang-orang muda. Data menunjukkan, sekitar 30 persen dari yang positif di Korea Selatan berusia 20-29 tahun.
Baca juga: Usaha Dunia Mengejar Covid-19
Berkat pemeriksaan yang masif itu, sebelas hari setelah alat tes tersedia, Korea Selatan berhasil menemukan kasus 31, seorang perempuan yang sakit setelah menghadiri acara keagamaan di Kota Daegu. Tidak sampai dua minggu kemudian, sebanyak 2.900 kasus positif teridentifikasi yang mayoritas pernah menghadiri acara yang sama di Daegu.
Pengalaman pahit
Kesigapan dan kesiapan Korea Selatan dalam menangani wabah penyakit infeksi tidak muncul begitu saja, tetapi dibangun bertahun-tahun setelah pengalaman pahit wabah Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS) tahun 2015.
Korea Selatan mendapat pelajaran sangat berharga pada tahun 2015 saat mereka "kecolongan" dalam kasus penyebaran wabah MERS.
Korea Selatan mendapat pelajaran sangat berharga pada tahun 2015 saat mereka "kecolongan". Ketika itu, seorang pengusaha Korea Selatan pulang dari Timur Tengah dalam keadaan sakit. Pria itu sempat dirawat di tiga rumah sakit sebelum akhirnya didiagnosis tertular Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS). Orang itu pun menjadi pasien pertama MERS di Korea Selatan.
Dalam perjalanan perawatannya, pria tersebut telah menyebarkan virus MERS ke 186 orang, termasuk tenaga kesehatan, dan menewaskan 36 orang. Setelah melacak, memeriksa, dan mengkarantina hampir 17.000 orang, akhirnya wabah MERS pun terkendali.
“Pengalaman itu memperlihatkan bahwa jejaring laboratorium untuk konfirmasi hasil pemeriksaan sangat krusial untuk mengendalikan penyakit infeksi baru,” kata Kim Woo-Joo, pakar penyakit infeksi di Korea University.
“Pengalaman MERS jelas membantu kami meningkatkan kemampuan rumah sakit dalam mencegah dan mengendalikan penyakit menular,” kata Oh Myoung-Don, pakar penyakit menular di Seoul National University. Sejauh ini, tidak ada laporan kasus Covid-19 pada tenaga kesehatan di Korsel.
Baca juga: Tak Perlu Menunggu "Lockdown"
Pengalaman dengan MERS pun kemudian melahirkan undang-undang yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk mengumpulkan informasi dari telepon genggam, kartu kredit, dan data pribadi lainnya dari mereka yang positif untuk merekonstruksi riwayat perjalanan mereka. Informasi itu kemudian dibagi di media sosial agar publik mengetahui apakah mereka pernah berada di tempat yang sama di waktu yang sama dengan pasien positif Covid-19.
Walaupun sekarang Korea Selatan dikenal karena upaya pemeriksaan yang masif dilakukan, bukan berarti pelacakan kasus, isolasi pasien positif, karantina diri, dan juga pembatasan sosial tidak dilakukan. Tidak ada satu resep yang bisa manjur untuk mengatasi wabah Covid-19. Kombinasi semua pilihan intervensi kesehatan yang bisa dilakukan, perlu dilaksanakan.
(REUTERS)
"dari" - Google Berita
March 26, 2020 at 08:35AM
https://ift.tt/3bspteM
Belajar dari Sukses Korsel Jinakkan Covid-19 dengan Tes Cepat, Bukan ”Lockdown” - kompas.id
"dari" - Google Berita
https://ift.tt/2rCl872
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment